Kamis, 03 April 2008

Siapa Yang Harus Melestarikan Seni Bali?

Siang ini sehabis saya posting, saya harus segera pulang ke rumah. Untung saya punya bos yang ngerti dengan kegiatan sosial karena beliau sendiri orangnya senang kegiatan sosial, saya bisa ijin pulang yang penting kerjaan sudah beres. Kemarin sore, bapak kasi tau kalau besok jam 4 sore "megambel" angklung, ada krama banjar yang "ngajum" ngiring ngaben di Griya karena terbatas biaya.

Yang punya acara adalah saudara kandung dari yang meninggal, kebetulan yang meninggal adalah kakaknya yang "truling (truna lingsir/ bujang lapuk)" dan sudah meninggal sekitar enam bulan yang lalu. Karena belum ada biaya, maka hanya dikubur saja dulu (mekingsan ring setra).


Krama banjar yang akan diaben ini adalah anggota sekaa angklung di banjar saya. Walaupun kemampuan megambelnya kurang tapi kakek ini sangat rajin datang latihan ke banjar, dan kalau ada megambel di upacara ngaben krama banjar yang lain, pasti selalu hadir.


Sebenarnya sedih juga salah satu sekaa angklung di banjar saya meninggal karena akan sulit sekali untuk mencari penggantinya. Anak-anak muda sekarang (termasuk yang di banjar saya) sangat sulit untuk diajak mesekaa gambelan, mereka lebih tertarik untuk dengan musik modern. Kata mereka sekaa angklung hanya bagi yang sudah menikah dan tua-tua saja.
Sangat sedih rasanya mendengar pendapat anak muda di banjar saya kalau berkesenian Bali tidak terlihat modern, mereka tidak sadar kalau kemoderenan yang sekarang mereka nikmati adalah karena adanya seni budaya Bali yang disukai oleh para turis asing untuk datang ke Bali. Karena seni budaya Bali lah yang menyebabkan pariwisata di Bali maju pesat berbeda dengan daerah lain di luar Bali yang juga mengharapkan pemasukkan dari dunia pariwisata tapi kesenian daerahnya mati tidak ada generasi penerusnya (sangat jarang ditemui).

Saya tidak mau kesenian Bali akan mati ditelan jaman seperti kesenian di daerah Indonesia lainnya. Besar harapan saya kalau penduduk asli Bali yang berpendidikan tinggi mempunyai kepedulian terhadap kesenian daerahnya. Bisa dimulai dari memotivasi dan ikut serta sekaa seni Bali di Banjarnya masing-masing. Kita tidak memerlukan pendapat-pendapat dari pakar-pakar yang hanya pandai bersilat lidah, tapi sangat diperlukan disini adalah kepedulian yaitu dengan cara ikut serta menjadi sekaa kesenian di banjarnya masing-masing agar tetap hidup dan lestari.


Saya yakin kalau orang-orang Bali apalagi yang pernah mengecap pendidikan tinggi pasti bisa berkesenian Bali, karena orang Bali dilahirkan dengan darah seni yang kental. Kalau ada kemauan pasti mampu melakukannya.


Beh sudah jam 12.30 siang, mau makan siang dulu sudah joget nih perut. Belum lagi perjalanan pulang dari nusa dua ke sanur sekitar 45 menit jaraknya. Pulang dulu neh, mau megambel........


Bali, 2 April 2008

2 komentar:

Anonim mengatakan...

SAya mempunyai ketakutan yang sama.
Masalahnya sekarang terkadang keinginan kita untuk ngayah dan ikut melestarikan budaya Bali, terganjal sama kebutuhan perut.
Kadangkala kita harus mendahulukan kepentingan perut dan ngayah.
Ah, seandainya semua bos seperti bosnya bli. Betapa senangnya masih bisa "megambel"
SAya rindu saat-saat itu....

Anonim mengatakan...

yang melestarikan ya kita kita ini Bli ... tapi sayang masih mbahlelo pelaksanaannya :(

Bli link tak pasang di tempatku yah , suksma :)