Kamis, 07 Februari 2008

Bazar, Warung Amal, & Galungan

Mendekati akhir bulan Januari 2008 ini, masyarakat Hindu di Bali disibukkan dengan kegiatan perayaan hari besar dalam Agama Hindu di Bali yaitu Hari Raya Galungan dan Kuningan. Makna perayaan yang jatuhnya setiap 6 bulan sekali menurut perhitungan kalender Bali sudah sangat akrab kita dengar yaitu kemenangan Dharma melawan Adharma atau dalam bahasa umumnya yaitu merayakan kemenangan kebaikan melawan kejahatan.

Pemaknaan hari raya Galungan ini sangat terkait dengan kegiatan ritual masyarakat Hindu Bali. Dalam perayaan ini mereka mengucapkan syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas karunia yang telah mereka terima selama 6 bulan. Ucapan syukur ini diwujudkan dengan segala persembahan yang mereka buat dalam perayaan tersebut. Sesuai dengan kepercayaan masyarakat Hindu Bali pada perayaan ini pula mereka tidak akan lupa juga mengucapkan syukur kepada para leluhur yang telah menjaga dan memelihara mereka sehingga mereka ada pada masa sekarang ini.


Segala perayaan Galungan & Kuningan dengan maknanya yang begitu suci bagi umat Hindu Bali sepertinya agak terusik dengan adanya kegiatan yang bisa dikatakan sedikit menyimpang dengan makna dasar perayaan Galungan & Kuningan. Kegiatan yang dulunya bernama Warung Amal dan sekarang lebih dikenal dengan Bazar itu selalu muncul pada saat akan menjelang perayaan Galungan & Kuningan, dengan durasi sekitar 1 minggu. Pada awal mulanya kegiatan ini adalah wujud ekspresi kreativitas anak-anak muda yang tertampung dalam organisasi sekaa teruna untuk memeriahkan hari raya Galungan dan Kuningan dan juga mengisi hari libur sekolah mereka.

Kegiatan Bazar atau Warung Amal ini mereka lakukan untuk mencari dana untuk membiayai kegiatan atau kreativitas para muda-mudi di Bali. Mereka menjual makanan dan minuman yang merupakan racikan atau dimasak sendiri oleh mereka. Para warga atau masyarakat sekitar akan dengan sukarela berbelanja ke warung amal tersebut. Akan tetapi kegiatan yang cukup positif ini lama kelamaan menjadi sesuatu yang berefek negatif dan tak jarang menimbulkan polemik di Masyarakat di Bali.
Entah siapa yang memulai, kegiatan Warung Amal berubah nama menjadi Bazar lebih banyak diisi oleh pesta miras terutama Bir dan masakan yang dijual sangat menoton dan bukan merupakan hasil dari racikan atau masakan muda-mudi tersebut, seperti menu ayam atau ikan lalapan dan sate gule kambing. Bahkan Bazar muda-mudi ini kesannya hanya menghidupi pedagang-pedagang makanan yang bukan dari masyarakat Bali tapi dari pendatang, pada intinya kegiatan ini lebih menguntung para pedagang dari pendatang luar Bali.

Dibeberapa tempat di Bali, Bazar yang diadakan oleh para muda mudi ini lebih berpotensi terjadinya konflik antar pemuda dikarenakan pengaruh alkohol. Sering kita lihat dan dengar setiap Bazar pasti terjadi perkelahian. Hal ini sangat mempengaruhi penilaian masyarakat luar terhadap masyarakat Hindu Bali. Mereka akan menyangka kalau kegiatan yang dimata mereka dan juga semua agama adalah dilarang, merupakan adat dan kebiasaan masyarakat Hindu Bali yang biasa dan diperbolehkan.


Sebagai bagian dari masyarakat Hindu Bali, sudah saatnya kita mulai sadar bahwa kegiatan seperti Bazar tersebut harus diluruskan kembali pengertiannya dan maknanya agar kembali seperti pada saat awal dicetuskan oleh para generasi terdahulu. Kita tidak boleh hanya menyalahkan dan mengkambinghitamkan para muda-mudi, akan tetapi mulai saat ini para tokoh atau tetua desa mulai memperhatikan dan mengarahkan kegiatan kreativitas muda-mudi di lingkungan Banjar mereka agar ke arah yang positif. Kita ingin segala kegiatan seperti Bazar atau Warung Amal tidak mengubah makna Hari Raya Kemenangan Dharma melawan Adharma menjadi hal yang sebaliknya, sehingga apa yang sering didengung-dengungkan untuk menjaga keajegan Bali bisa terwujud dari hal-hal yang kecil seperti ini.

Bali, 7 Februari 2008