Rabu, 16 Januari 2008

Tahun Baru, antara Bisnis Pariwisata dan Adat Budaya Bali


Tahun Baru 2008 baru saja kita mulai, segala harapan, cita-cita, dan angan-angan yang belum bisa kita wujudkan pada tahun sebelumnya bisa menjadi terwujud ditahun ini. Segala perayaan pelepasan hari terakhir di bulan Desember biasa dan merupakan suatu menu wajib di Bali yang dikenal sebagai daerah destinasi utama pariwisata di Indonesia.

Dari pesta sederhana bersama keluarga dirumah, bersama tetangga, teman-teman dekat (pacar atau apalah istilahnya) ataupun bersama geng senasib sampai pesta di Hotel-hotel, Restaurant, Bar-Bar, Kafe-kafe ataupun tempat hiburan lainnya, akan selalu bernuansa modern atau barat seperti minum-minum dari yang ringan sampai yang mengandung alkohol sesuai dengan asal usul perayaan tahun baru yang memang dibawa oleh pengaruh orang-orang barat.

Pariwisata memang berdampak pada kemajuan yang terjadi di masyarakat Bali akan tetapi pariwisata juga membawa perubahan beberapa sikap dan prilaku orang-orang Bali. Perayaan Tahun Baru merupakan salah satu contohnya. Apabila kita telusuri, Bali yang sangat kental dengan adat yang bernafaskan agama Hindu yang unik dan tiada duanya di dunia yang sangat berbeda dari asal agama Hindu tersebut yaitu India. Hari Raya agama Hindu di Bali sangat berbeda dengan hari raya agama Hindu di India, seperti perayaan Galungan, Kuningan, Saraswati, Pagerwesi, Nyepi dan lain-lainnya. Perayaan hari besar agama Hindu di Bali bersumber dari lontar-lontar tapi tidak keluar dari kitab suci Weda, dan perayaan tersebut juga disesuaikan dengan adat dan istiadat yang berlaku di setiap daerah di Bali. Sehingga kita akan menemui kesulitan untuk menyeragamkan perayaan hari besar agama Hindu di Bali apalagi dengan perayaan hari besar agama Hindu di India sebagai asalnya.

Kembali pada perayaan pergantian tahun masehi, sebenarnya di Bali sudah ada perayaan pergantian tahun yaitu tahun Caka yang sering disebut Hari Raya Nyepi. Pada malam pergantian tahun juga dimeriahkan dengan upacara Nyomiang Bhuta Kala yaitu upacara dimana para Bhuta Kala yang biasanya mempengaruhi segala pikiran manusia untuk berbuat yang tidak baik dibuat tenang agar tidak mengganggu jalannya Hari Raya Nyepi keesokkan harinya. Pada malam hari tersebut yang disebut dengan malam pengerupukan di setiap daerah di Bali sering dibarengi dengan adanya pawai Ogoh-ogoh yang merupakan wujud kreatifitas seni anak muda di Bali. Kegiatan ini mulai populer sekitar tahun 1980-an, dan dilestarikan hingga kini. Keesokan harinya mulai pukul 05.00 pagi masyarakat hindu di Bali mulai melakukan Tapa Brata Penyepian; yaitu dengan tidak keluar rumah, bekerja, bepergian, bersenang-senang, menyalakan api/lampu, mereka hanya diam dirumah berkumpul bersama keluarga.

Saat Nyepi merupakan hari dimana para keluarga di Bali bisa bertemu keluarga selama sehari penuh tanpa disibukan dengan kegiatan lainnya. Akan tetapi kemajuan dunia perekonomian dan pariwisata berimbas pada mulai surutnya perayaan Nyepi sebagai acara kumpul bersama keluarga sehari penuh. Bagi mereka yang bekerja sebagai karyawan Hotel apalagi dengan manajemen luar atau asing maka kadangkala mereka diharuskan shift atau tugas kerja sehari penuh di Hotel. Kalau ditelusuri hal tersebut sangat bertentangan dengan hakekat atau makna Nyepi dimana umat Hindu di Bali dilarang melakukan pekerjaan, akan tetapi tuntutan ekonomi menjadi kendalanya. Mereka bagaikan makan buah simalakama. Hal-hal tersebut merupakan PR besar bagi mereka yang memegang keputusan. Saya umpamakan hal tersebut menimpa umat selain Hindu, saya berkeyakinan akan terjadi protes keras dari perkumpulan seumat mereka, akan tetapi masyarakat Hindu di Bali tidak akan melakukan hal tersebut.

Disini dapat kita lihat betapa sangat tolerannya umat Hindu di Bali, disatu sisi perayaan Tahun Baru Masehi yang sangat jauh dari akar adat dan budaya umat Hindu di Bali masih bisa diterima dengan baik, sedangkan disisi lainnya perayaan Tahun Baru Caka/ Hari Raya Nyepi belum diterima sebagai hal yang wajib dipatuhi bagi umat Hindu yang mencari nafkah di dunia Pariwisata oleh para pemilik bisnis pariwisata khususnya yang bergerak dibidang usaha perhotelan.

Bali, 19 Januari 2008

Sabtu, 12 Januari 2008

Sanur Tempat Tak Terlupakan

Sanur, 11 Nopember 1973 saya terlahir dari Ibu yang berasal dari desa Lembeng Sukawati - Gianyar yang pada masa bajangnya merantau untuk mencari nafkah ke Sanur dan akhirnya mendapatkan jodohnya disana.

Bapak berasal dari Sanur asli, anak seorang seniman lukis yang tak satupun karyanya tersisa karena semua dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari, pada masa itu (era 60-an) karya lukis tidak seberapa harganya.

Bapak melewati masa remajanya tanpa seorang ayah, karena sudah ditinggal ke alam baka tanpa diketahui dimana mayatnya. Beliau menghidupi ibu dan adik sepupu yang ikut bersamanya, dengan bekerja sebagai pembuat patung janger.

Kembali ke masa kelahiran saya, saya dilahirkan dimana pada saat itu Bapak lagi melamar pekerjaan di Wisma Werdhapura, karena hidup dari membuat patung janger tidak cukup untuk membiayai keluarga dengan 2 orang anak. Ibu bekerja sebagai tukang jahit baju. Saya terlahir tanpa sempat ditungguin sama Bapak.

Setelah kelahiran adik saya pada tahun 1978, kehidupan rumah tangga keluarga saya mulai meningkat. Order jahitan (pasuh) ibu semakin banyak dan sampai mempunyai 4 orang pekerja. Gaji Bapak di Werdhapura semakin meningkat seiring mulainya dunia pariwisata di Bali.

Sanur sudah menjadi satu destinasi wisata terkenal di Bali. Banyak turis terutama yang sudah pensiun senang akan alam Sanur dengan lautnya yang tenang dan Sunrise di pagi hari. Pada tahun-tahun sebelumnya Sanur sudah menjadi tujuan orang asing/ bule, bahkan ada yang sampai menikah dan menetap di Sanur. Le Mayeur adalah salah satu contoh orang asing yang mencintai Sanur, dia menetap dan menikah dengan Ni Polok di kawasan pantai di Sanur.

Berkembangnya turisme di Sanur juga mulai membawa efek negatif selain efek positif dari sektor ekonomi dimana penghasilan penduduk kian bertambah. Pelacuran, hal yang memang sudah ada sejak jaman dulu, semakin marak. Kawasan-kawasan seperti Semawang, Betngandang, Blanjong, dan Tanjung menjadi pusat maraknya dunia prostitusi di Sanur. Nama Sanur bahkan menjadi terkenal sebagai tempat esek-esek ditelinga orang-orang Bali, selain sebelumnya lebih ngetop sebagai sarang Leak.

Leak,
sudah identik dengan Sanur sejak jaman dulu. Hal ini tidak terlepas dari sejarah keberadaan puri Pemecutan. Sanur sebagai daerah pinggiran atau pantai, merupakan daerah yang paling cepat terpengaruh akan kebudayaan luar. Untuk memperkuat pengaruh Puri Pemecutan maka ditempatkanlah seorang perwakilan raja yang sakti. Hal ini diperlukan karena ilmu pedestian atau pengeleakan sangat mudah ditemukan di Sanur sejak dulu. Banyak orang-orang Sanur yang menguasai ilmu tersebut, sehingga diperlukan perwakilan raja yang sangat sakti untuk berkuasa di Sanur.

Pada jaman penjajahan, Sanur menjadi saksi perlawanan rakyat Bali terhadap penjajah Belanda. Perang Puputan Badung bermula dari ditahan dan dirampasnya kapal kompeni di pantai Sanur oleh rakyat Sanur sebagai pelaksanaan Hak Hukum Tawan Karang yang berlaku pada saat itu. Hal tersebut menjadi awal kemarahan Kompeni Belanda dan terjadilah perang puputan yang kemudian dikenal sebagai Puputan Badung. Akibat perang ini, keturunan langsung dari Raja Badung sudah musnah karena mereka membela tanahnya sampai mati.

Bali 12 Januari 2008

Note:
Bajang = Gadis/Remaja
Pasuh = order
Janger = sejenis tarian pergaulan yang wanita disebut Janger, penari pria disebut Kecak
Leak = Ilmu Hitam ala Bali
Desti = sebutan lain dari Leak
Le Mayeur = pelukis terkenal dari Belgia
Ni Polok = Nama istri Le Mayeur dari Denpasar Bali
Hak Hukum Tawan Karang = peraturan raja yang membolehkan daerah yang memiliki area pantai untuk menguasai isi kapal asing yang mendarat tanpa persetujuan kerajaan